Jumat, 27 Juni 2014

(Untukmu) Aku Bertahan

Aku masih setia menatap layar komputer lipat berwarna biru muda. Berusaha mengumpulkan imajinasi yang agaknya masih berada di atas sana, menggantung di platform kamar. Aku tak tau bagaimana para penulis novel mendapatkan ide dan menyelesaikan kisahnya yang hampir berlembar-lembar itu. Sedangkan aku?
Untuk memulai awal kata saja susahnya minta ampun apalagi menyelesaikan tiap kalimat menjadi alenia-alenia yang akhirnya menghasilkan kisah yang menakjubkan atau bahkan sekedar menarik.

//Terik matahari tak mampu melunturkan semangat lelaki itu menari sambil memainkan bola berwarna orange. Iyel oh Iyel. I love you//


Tok tak tuk tok tak tuk tuk

Terdengar ketukan tak biasa dari pintu kamarku yang tertutup. Ah menganggu saja, siapa lagi kalau bukan Viana Arsandya. Gadis chuby yang telah menjadi sahabatku dari kelas satu SD.

"Udah deh jangan berisik" seruku ke arah pintu berusaha menghentikan tingkah gilanya.

Dan benar saja, suara ketukan itu sudah tak terdengar lagi. Dengan cengiran khasnya Via menjulurkan kepalanya di pintu yang belum sepenuhnya terbuka.

"Hehe Ify tau aja deh kalo Via dateng" menutup pintu, berjalan ke arahku dan langsung menghempaskan tubuhnya.

"adauwh" jeritku. Ku elus punggungku. Ah dasar. dia kira di a semut apa? Teganya menindihku yang kerempeng begini.

"Hehe maaf Fy. Elonya geser dikit donk" mendorong-dorong tubuhku agar sedikit kekanan dan memberinya ruang untuk berbaring di sampingku.
Aku berpura-pura tidak mendengar permintaan maafnya yang diakhiri dengan perintah. Berusaha memasang mimik wajah serius menatap layar.
Tapi percuma Sivia malah lebih gencar melaksanakan aksinya. Sial, aku mengalah dari pada tubuhku risek gara-gara dia.

"Akhirnya" menghela nafas panjang setelah berhasil mendorong tubuhku. Helaan nafasnya seolah baru saja dia telah mengeser bongkahan batu raksasa yang menghalangi jalan. Oh ayo lah, aku kan langsing, mungkin lebih tepatnya kekurangan berat badan alias kurus.

"Rese lo Vi" gerutuku sebal.

"Ify jangan marah donk, hehe" Memang dia tak pernah bisa membuatku marah, hanya dengan melihat cekungan di pipinya membuat semuanya jadi seolah seperti biasa. Kesalku mendadak lenyap.

Via membalikan tubuhnya sepertiku, menarik laptop agar lebih dekat ke arahnya.

"Hahahaha." tawanya pecah sesaat setelah membaca deretan huruf yang tertera di layar.

Memang ada yang lucu? Aku menarik laptop ke tempatnya semula, di hadapanku. Aku membacanya dengan teliti. Rasanya tidak ada yang aneh. Biasa saja kok. Mungkin Via berusaha menjahiliku, aku melirik Via yang berada di sampingku, tawanya masih berderai. Kebawah... dan ternyata... Astaga... Aku menuliskan kata-kata memalukan itu. Dan sialnya Via membacanya.

"Fy, apa loe segitu sukanya ke Iyel ya?" Via menetralkan suara, mengatus nafas setelah menghentikan tawanya.

"Ya loe tau sendiri kan" ujarku tak acuh.
"Ya ya ya gue tau. Tapi mending jangan terlalalu deh, nanti loe malah sakit hati" ceramah Via.
"Emang salah ya kalo gue suka sama dia?" ujarku lirih.


Dia sungguh beruntung dibandingkan aku dalam urusan cinta. Betapa tidak? Via yang dulunya selalu cuek dengan makhluk cowok dan sekalinya dia mencoba membuka hati, Alvin langsung mengetuk pintu hatinya. Alvin yang tinggi, putih, bermata sipit selalu bertingkah romanis yang menjadi pemenang hati Via. Sedangkan aku? Ck... Iyel yang ku suka saja dari hari ke hari semakin jauh dari jangkauan.

"Udah deh ga usah pasang muka mellow gitu. Oh ya jadi cerpen ini yang mau loe bikin buat tugas dari Bu Winda?"
Aku mengangguk.
"Loe mau buat cerita tentang Iyel yang popular itu dan endingnya loe jadian sama dia, gitu?"
Aku mengangguk lagi.
Apa begitu mudahnya ya menebak pikiranku?

* * * * *

Bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Tapi aku belum berniat meninggalkan sekolah. Aku memilih duduk di bangku panjang di tepi lapangan. Pandanganku menerawang ke tengah lapangan. Dimana aku lihat lelaki pujaanku sedang bermain bakset besama teman-teman yang berseragam sama. Tadinya Via sudah mengajakku pulang bersama tapi aku bersikeras untuk menonton pujaan hatiku beraksi. Hari ini sama dengan apa yang ku tulis sebagai awal untuk tugas cerpen.

"Auuwh" aku mencari sumber suara. Tertanya itu suara Shilla yang sedang berlatih chers terkena bola basket di bagian kepalanya. Rasanya aku ingin tertawa keras saat itu juga. Jahat memang tapi aku menikmati agedan itu. Hahaha.
Atau mungkin aku harus memasukkan adegan ini ke dalam ceritaku nanti. Akan ku buat aku menolong Shilla dan Iyel menyukaiku atas kebaikanku itu. Licik memang.

Dari tempatnya berdiri ku lihat Iyel berlari ke arah Shilla yang masih merintih kesakitan sambil memegangi dahinya. Iyel menyentuh dahi Shilla mengatakan sesuatu padanya. Sekian detik kemudian Shilla pingsan dan dengan cekatan Iyel membopong tubuh Shilla.
Tubuhku membeku seketika. Adegan itu seperti slow motion yang berputar-putar di kepalaku. Hatiku sakit. Aku sudah melayang tinggi oleh anganku dan dengan acuhnya Iyel menghempaskanku. Aku cemburu !
Aku mencoba bangkit dari tempatku duduk, menghela nafas panjang berusaha menetralkan perasaanku. Mungkin benar kata Via harusnya aku langsung pulang saja.
Baru saja aku melangkahkan kaki keluar gerbang sekolah, tetesan hujan langsung menyambutku, sepertinya langit tahu suasana hatiku saja.
Ku ketatkan tas ransel berusaha menghalau rasa dingin.


"Ying pulang yuk. Udah gerimis noh" ujar lelaki berjaket biru tua sembari menunjuk langit yang masih meneteskan air ke bumi.
"Pulang sendiri aja sono" semakin merapatkan punggungku ke dinding agar gerimis tidak membasah kuyupkan tubuhku.
"Loe mau nunggu angkot sampe kapan? Ini udah hampir jam lima tau. Mau kaya waktu itu?" ocehnya panjang.
"Waktu itu, kapan?" tanyaku malas.
"Memang siapa yang pulang dari ekskul pulang ke rumah sambil nanggis gara-gara gak dapet angkot? Untungnya ada gue kan?" menaikan sebelah alisnya seolah dia punya jasa besar karena sudah mengantarkan ku pulang.

Memang sih aku senang sekali waktu itu. Rio menepuk bahuku dari belakang. Awalnya tangisku bertambah keras karena aku pikir dia penjahat yang akan menculikku. Aku sama sekali tidak berani menengok ke belakang, ku percepat langkah dan berdo'a pada Tuhan agar melindungiku. Dengan santainya memotong jalanku dengan sepedanya. Menawarkan boncengan padaku. Jelas saja aku langsung memeluknya, berterima kasih sambil mengusap dengan kasar air mataku.
Tak bisa ku bayangkan betapa jeleknya wajahku saat itu. Ck.

"Udah jangan banyak mikir. Gue juga ga bakal ngapa-ngapain tubuh tuying loe itu kok" Rio mengedipkan matanya, semakin besar rupanya Rio semakin rese.

* * * * *

"Fy, Shilla kenapa kepalanya benjol gitu sih?" Via mendekatkan bibirnya di telingaku berbicara dengan volume kecil.
Aku menengok kebelakang dimana tempat Shilla duduk. Benar saja hari ini ada yang tidak biasa dari penampilan Shilla, di dahinya ada sebuah aksesoris unik berbentuk bulat, bahkan poninya yang tebal tidak dapat menutupinya dengan sempurna.

"Shillany Farra, maju dan selesaikan soal nomor satu" ujar Bu Tati dengan aura menegangkan. Mendadak seisi kelas diam, menghentikan aktivitasnya masing-masing termasuk bernafas. Semua mata tertuju kepada Shilla, bahkan teman-teman yang berada di deret depan rela memutar kepalanya seratus tujuh puluh sembilan derajat demi melihat Shilla yang nampaknya kaget namanya dipanggil.
Shilla bangkit dengan anggunnya menuju papan tulis dan mengambil spidol, dia membalikan badannya, memandang seisi kelas termasuk aku. Tapi ku rasa pandangannya terhenti pada suatu titik. Aku mengikuti arah pandangannya. Dia melihat ke arah Iyel !
Dan yang membuatku merasa hawa ruang kelas semakin panas adalah ketika Iyel mengacungkan ibu jarinya, mulutnya berkomat-kamit membuat kalimat 'kamu pasti bisa Shilla'. Shilla tersenyum langsung mengerjakan soal nomor satu dengan sempurna.

"Sekarang untuk nomor dua, Lifyca Meissy"

Jantungku berdetak cepat saat bu Tati memanggil namaku. Ya Tuhan, aku baru mengerjakan soal nomor satu itupun belum selesai dan kini aku harus mengerjakan soal nomor dua di papan tulis? Yang benar saja.

"Vi, gue liat nomor dua donk , loe udahkan?" tanyaku sambil menarik buku milik Via. Tetapi sia-sia. Viana belum sama sekali mengerjakan soal itu.
"Lifyca ayo cepat maju" ujar bu Tati tak sabar

Akhirnya dengan pasrah dan langkah gontai aku menuju kedepan kelas mengambil spidol dari tangan bu Tati. "Kamu pikir kamu sedang apa disitu?" sentak bu Tati seolah mengintrogasi maling yang ketahuan mengambil buah mangga miliknya. Aku hanya dapat menelan ludah, melirik ke arah papan tulis yang menunggu jawban. Aku mencari sosok Iyel berharap dia mau menyemangatiku tapi nihil Iyel malah tanpa minat melihatku berdiri disini.
"Kamu harusnya dapat mencontoh Shilla, Ify. Kamu kan siswi pandai, masa tidak bisa menyelesaikan soal segampang itu?"

Sial, aku dibanding-bandingkan dengan Shilla.
Pantas saja dengan mudah dia mengerjakan soal Hiragana itu, neneknya kan orang Jepang, jadi tidak heranlah kalau dia dengan mudah menyelesaikannya.
Seharusnya di sekolah ini tidak memilih bahasa Jepang sebagai salah satu bahasa asingnya. Kenapa kita harus capai-capai mempelajari bahasa dari negara yang telah menjajah kita?
Mendadak aku jadi sentimentil terhadap bahasa Jepang, atau mungkin terhadap Shilla. Entahlah kurasa hal itu berkaitan.

* * * * *

Suana di belakang panggung masih ramai. Ada yang masih menghafal lirik, para dancer yang melatih gerakan mereka untuk terakhir kali bahkan ada pula yang khusuk memanjatkan do'a, seperti halnya aku. Via duduk di sampingku, menggenggam tangan berusaha memberikanku energi positif.

"Kita sambut Lifyca Meissy" mc sudah memanggil namaku.
Aku berdiri "Do'ain aku ya Vi"
"Pasti donk" Via mengacungkan dua ibu jarinya.

Musik sudah mengalun merdu.


Telah lama aku bertahan..
Demi cinta wujudkan sebuah harapan..
Semua rasa tlah hilang..
Sekarang aku tersadar..
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang..
Apalah arti aku menunggu..
Bila kamu..
Tak cinta lagi..
Namun ku rasa cukup ku menunggu..
Semua rasa tlah hilang..
Sekarang aku tersadar cinta yang ku tunggu tak kunjung datang..
Apalah arti aku menunggu..
Bila kamu..
Tak cinta lagi..
Dahulu kaulah segalanyaaa..
Dahulu hanya dirimu yang ada dihatiku..
Namun sekarang aku mengerti..
Tak perlu ku menunggu sebuah cinta yang semu..

Gemuruh tepuk tangan mengiringi selesainya lagu milik Raisa yang ku nyanyikan. Aku membungkuk mengucapkan terima kasih.

Aku berjalan menuju belakang panggung. Mencari sosok Via diantara teman-teman yang menunggu giliran tampil. Menyusuri lorong-lorong kelas yang pintunya tertutup. Aku mendesah Via tidak ada di mana-mana. Aku menghempaskan tubuhku ke kursi di depan kelas XI IPA 3. Memejamkan mata besyukur pada Tuhan karena hari ini berjalan lancar. Tiba-tiba bahu sebelah kananku terasa berat. Membuka mata dan menemukan sosok tengil itu tengah bersandar di bahuku.

"Minggir cowok rese" aku mengendikkan bahu kanan berusaha menyingkirkan kepala Rio yang berat di bahuku.

Perlahan Rio membuka matanya, menatapku dan menempelkan jari telunjuknya di depan bibirku. "Ssssstt... Jangan ribut" desisnya pelan.
Enak saja dia, memang siapa yang memulai. Aku memutar bola mataku jengah.

"Suara loe bagus" pujinya.
Aku diam saja. Ternyata dia bisa memuji juga, ku kira hanya bisa mengejek.
"Tapi lebih bagus kalo..."
"Kalo gue diem gitu. Rese loe Yo" potongku sambil menjitak kepalanya.
Rio berdeham. "Bukan, lebih baik kalo loe ikutin kata-kata di lagu itu"
"Huh?" aku tak paham.
"Lebik baik loe sadar -apalah arti menunggu-. Gue tahu loe suka Iyel" ujarnya sok tahu.
"Loe gak tau sih Yo gimana sukanya gue ke Iyel. Udah satu tahun Yo gue suka dia" aku mendadak curhat.


"Gue rasa, gue lebih tau dalam urusan menunggu dari pada loe deh Fy" Rio menarik salah satu ujung bibirnya. Entah apa maksudnya.
"Udah hampir empat tahun. Bahkan rasanya gue ga kuat lagi buat nunggu. Tapi gue sih cowok kuat ga putus asa kayak Raisa. Hahaha" tuturnya diakhir tawa. Tawa yang... Getir aku rasa.

Aku melonggo. Rio curcol ternyata. Cewek itu pasti Shilla, dia kan satu SMP dengan Rio dan menurut kabar memang begitu. Shilla beruntung di sukai Iyel. Tapi kalo disukai Elgario Satria, apa itu juga termasuk keberuntungan?


"Loe mau gantian? Sini sini" ditepukan bahu kirinya. Tangannya menuntun kepalaku agar bersandar di bahunya.

Entah mengapa tidak ada perlawan berarti dariku, tidak seperti biasanya. Mungkin aku sudah terlalu capai untuk sekedar membantah perkataannya, ku geser tubuhku agar mendapat posisi yang nyaman dengan kepala yang masih bersandar di bahunya. Ku lirik wajah Rio dari ujung pandangku. Sosok Elgario Satria sangat berbeda, tidak ada raut jahil di wajahnya, yang ada hanyalah wajah yang penuh kedamainan.
Ternyata si cowok rese ini bisa juga ya besikap manis. Aku mengikuti Rio, memejamkan mata.

"Ehem"
Ku buka mata perlahan, suara tersebut menarikku kembali ke alam sadar. Ku kerjapkan mata, bayangan Shilla mulai semakin jelas tertangkap retinaku. Menegakkan badanku, rasanya aku tertidur cukup lama di bahu... Ku lirik seseorang di sebelah kananku, rupanya Rio sudah lebih dahulu tersadar. Rio berdiri. "Gue tinggal ya Fy, udah ada temen loe tuh" menunjuk Shilla dengan dagunya dan beranjak pergi.

"Kenapa Shill?"
Shilla mendekat dan duduk di sampingku.
"Selamat ya Ify, pertunjukan loe sukses. Gue iri deh sama loe, udah pinter suaranya juga bagus"
"Biasa aja kok Shill" tersenyum tipis. Aku tak habis pikir bagaimana bisa cewek sesempurna Shillanya Farra iri pada seorang Lifyca Meissy. Bukankah aku yang seharusnya iri pada dia, Shilla yang sangat menarik.
"Gue cuma mau ngasih tau kalo besok terakhir ngumpulin angket"
"Thanks ya Shill, atas infonya"
Shilla mengangguk.

"Tadi itu...?" menunjuk ke arah Rio pergi.
Aku mengikuti arah telunjuknya. "Rio?"
"Iya, kemarin loe pulang bareng dia ya?"
"Iya, kok loe tau? Kan kemarin loe pingsan"
"Pas gue siuman. Gue di anter Iyel, trus ketemu loe di jalan lagi bareng sama Rio"

Aku mengerjapkan mata mendengarkan penuturan Shilla, dia di antar pulang oleh Iyel dan bukannya senang malah nada bicaranya terkesan iri.
Aku menggelengkan kepala, apa semua orang menarik haus perhatian ya? Coba saja kemarin aku yang menggantikan posisi Shilla, mungkin itu akan menjadi Goodnews of the week. Ckck.

"Ifyyy..." Via menarik tanganku.
"Dari mana aja sih loe Vi?" aku mendesah.
"Nanti deh gue ceritain." Via tetap menarik tanganku. "Shill, kita mau pulang dulu ya, bye." melambaikan tangan pada Shilla.

* * * * *

BLAM.
Aku tidak peduli betapa kerasnya aku membanting pintu kamar.
Menjatuhkan tubuhku di ranjang dengan posisi tengkurap, membenamkan wajahku di antara tumpukan bantal.
Aku menangis sekencangnya, menumpahkan emosiku melalui airmata.
Semuanya berantakan !
Di hari ulang tahun yang seharusnya dilewati dengan rasa bahagia, dia mengacaukan segalanya.

 Seseorang membukakan ikat kain yang menutup kedua mataku. Belum selesai aku membuka mataku dengan sempurna. Terdengar teriakan beberapa orang. "HAPY BIRTHDAY IFYYYY"

Ku edarkan pandanganku ke semua penjuru, terlihat Via, Iyel, Shilla, Alvin, Agni, Cakka, Kiky, Dayat, Debo, Angel dan semua teman-teman kelasku berkumpul di sini memberikanku kejutan. Aku menangis haru memeluk Via dan Agni yang kebetulan berada tak jauh dariku.
"Makasih teman-teman" ucapanku terdengar sangat aneh saat menangis.
Mereka tersenyum.
Debo dan Iyel menarik meja beroda di keempat kakinya ke arahku. Teman-teman besorak "Make A Wish.. Make A Wish"
Aku mulai memejamkan mata.

"Ifyyyyy" teriak suara yang tak asing bagiku. Aku membuka mata. Rio berlari ke arahku. Dia berusaha menyeimbangkan tubuhnya, langkah Rio semakin memelan tetapi perhitungannya kurang tepat sehingga, kaki kanannya menendang meja yang berada di hadapanku.
BRAK.
Meja beserta kue tart di atasnya kini menindih tubuhku. Creamnya melumuri rambut dan sebagian wajahku. Perasaan bercampur aduk sakit, kesal, marah, sedih. Aku hanya bisa terduduk, bahuku bergoncang. Tangis tak bisa ku cegah.


Aku memukul-mukul kasur untuk melampiaskan emosi.

Riuh rendah dari teman-teman tidak terdengar lagi. Hening. Rio menatap wajahku panik. Dia mengulurkan tangganya. Aku masih menangis. Dia berlutut, memegang kedua bahuku, mencondongkan wajahnya ke arahku. "Fy" memegang daguku, perlahan tapi pasti dia mendekatkan wajahnya di wajahku. Mendaratkan bibirnya di bibirku. Aku membeku. Satu detik.. Dua detik.. Tiga detik..

Dengan tenaga yang tersisa, ku dorong tubuhnya. Dia terjengkang, terdiam. Aku bangkit dengan penuh emosi, menyingkirkan meja dari kaki. Berlari. Berlari menjauhi tempat itu. Berlari menjauhi mereka. Wajahku memanas, jika bisa ingin ku tinggal saja wajahku disana.


 Tok tok tok
Pintu kamar di ketuk.
Aku yakin itu bukan ketukan Via.

"Ify. Maafin gue Fy" walau aku tak melihatnya tapi aku tau bagaimana ekspresinya. Jika kita telah mengenal seseorang dengan begitu baik -tanpa melihat wajahnya- kita dengan mudah akan tahu apakah orang itu sedang senang, sedih atau marah. Seperti saat ini, sangat mudah untuk tahu betapa menyesalnya.
Menyesal? Dia memang melakukankannya dengan sengaja. Aku benci. Di saat aku harus membencinya tetapi hati kecil ini malah dengan santai mengatakan bahwa dia tidak sengaja. Arrght !

"Gue gak mau ketemu loe lagi" teriakku sengau.
Suara mamah lamat-lamat terdengar. Mamah menyuruh Rio untuk meninggalkanku sampai kondisiku membaik. Ku rasa Rio menurutinya, karena setelah itu tidak terdengar lagi suara mamah dan Rio.

Tangisku mulai mereda saat kantuk mulai menyerang.

* * * * *

Sebenarnya aku engan untuk berangkat sekolah hari ini. Tapi mengingat adanya jadwal ulangan harian Kimia hari ini, ku urungkan niat. Aku mematut diriku sekali lagi kaca. Mengambil kacamata minus dari tempatnya, mengenakannya dari rumah. Karena biasanya aku hanya mengenakan itu saat belajar. Tapi ku rasa kacamata itu lumayan membantu menutupi mataku yang sembab.

* * * * *


"Fy ke kantik yuk" ajak Via.
"Males Vi, malu nih mata gue bengkak gini" melepas kacamata.
"Gue laper. Loe mau titip ga?"
"Minuman dingin aja Vi"
"Oke" Via beranjak pergi.

Suasana kelas lumayan lengang. Hanya ada Ray dan Ozy yang tengah sibuk dengan gadgetnya masing-masing.
"Fy" panggil seseorang.
Aku mendongak. Mata kami bertemu.
"Fy maafin gue" ujarnya lagi.
Aku membuang muka, malas menjawabnya.
"Mending loe pergi aja deh Yo" usirku ketus.
Rio menggenggam tanganku. "Tapi Fy.."
"Balik ke kelas loe sana" potongku cepat.

* * * * *


"Fy apa loe ga kasian sama Rio. Udah seminggu loh, loe diemin dia?" tanya Via hati-hati.
"Kenapa gue kasian sama dia? Dia itu cowok paling jahat yang pernah gue kenal Vi"
Via menghentikan aktivitas menulisnya.
"Gue rasa loe deh yang jahat, saat ini" seru Via tiba-tiba.
Aku jahat ke Rio? Jahat apa? Bukannya selama ini dia yang selalu memulai perkara denganku?
"Gue?"
"Iya" jawab Via datar.
"Dia udah curi first kiss gue Vi" aku kesal jika harus mengingat hal itu. Bodohnya aku, bukannya menghindar, malah mematung sambil memejamkan mata. Ck.

"Iya gue tau Fy. Tapi apa ga ada kesan baik yang loe terima dari Rio? Rio udah berkorban banyak buat loe. Tapi loe nya malah tutup mata"
Via menarik nafas, melanjutkan kata-katanya.

"Loe inget ga waktu SMP Rio nganter loe pulang malam-malam? Rio bukannya ga sengaja ketemu loe di sana, dia kerumah gue Vi, panik banget. Dia kira loe ada di rumah gue. Dia nyari loe Fy. Nyariin loe" cerita Via mengebu-gebu.

Matahari mulai beranjak dari tempatnya. Aku berjalan menyusuri jalan menuju rumah sendirian. Mataku masih saja mengucurkan air.

Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Sontak tangisku bertambah kencang, aku takut sekali. Ku percepat langkah. Tiba-tiba Rio memotong jalanku dengan sepedanya.
"Hei cengeng, pulang yuk"
Aku mendongak agar melihat orang itu dengan jelas karena dia lebih tinggi dariku.
"Ri... Rio" aku langsung memeluknya, menyeruput ingus, dan mengusap kasar air mataku.

"Terus waktu ultah loe yang ke lima belas. Lukisan yang loe kira dari Iyel itu sebenarnya dari Rio. Fy" Via memandang lukisan yang terpajang di dinding kamar.

"Dari Rio? Loe ngaco Vi. Rio bilang itu dari Iyel kok" aku protes.
Via mengendikkan bahu.

Aku menatap sebuah kado yang di bungkus kertas warna biru muda. Bentuknya pipih seperti papan tulis yang di bungkus.
"Buka donk Fy" pinta Via tak sabar.
Aku memandang Via dan Rio bergantian. Aku berlutut merobek kado itu. Srek srek srek. Ternyata di dalamnya sebuah lukisan bukan papan tulis seperti dugaanku.
Lukisan diriku yang sedang menggenggam bunga mawar putih. Cantik sekali.
Memang siapa yang juga yang akan memberi papan tulis sebagai kado ultahku?
"Kira-kira dari siapa ya Fy" Via mengedipkan matanya.
Meletakan jari telunjuk di pelipis. Aku berpikir. Sebelum pesta di mulai hanya Iyel yang membawa kado seperti ini. Jadi siapa lagi kalau bukan. "Iyel. Vi" pekikku semangat.
"Loe yakin, Fy?" tanya Via sambil melirik Rio.
"Yakin" ujarku sambil melompat-lompat kecil, saking senangnya.
"Padaha.. Ppppmt" Rio membekap mulut Via dengan tangannya.
"Rio, jangan rese deh. Kasihan Via tahu!"

Via beranjak dari tempat duduknya berjalan menuju lukisan itu tertempel. Menurunkan, membawanya di hadapanku.
"Loe ga peka atau gimana sih Fy?" duduk di hadapanku. "Jelas-jelas ini inisial E.R kenapa malah loe nebak Iyel yang mbuat?"
Aku terdiam berusaha mencerna kata-kata Via.
"Nama lengkap Iyel kan Dazriel Andrean. Dan di sini E.R yang artinya ElgaRio" Via menunjuk sudut lukisan.

Kepalaku mendadak pening. Berarti selama setahun ini, kebahagianku palsu?
Aku sangat bahagia mengira lukisan itu dari pujaan hatiku, Iyel. Tiap pagi aku tersenyum memandang lukisan itu, menumbuhkan rasa suka pada sosok Iyel yang cuek tetapi membuat hadiah spesial untukku, mengira bahwa aku cukup spesial untuknya.
Dan kini. Wuuush..
Aku harus menyadari bahwa ini dari seorang Elgario yang ku benci selama ini.
Aku menangis sesenggukan di bahu Via. Menangisi kebodohan, ketidakpekaan dan menangisi sikapku yang berbanding terbalik dengan kebaikan Rio selama ini.

* * * * *

"Rio" teriakku.
Aku tidak peduli mendapat tatapan penuh tanya dari orang di sekitar.
Menyusuri setiap sudut dengan memanggil namanya hanya untuk mencari sosok tengil itu.
Mungkin kalian pernah menonton salah satu adegan film di mana pada adegan itu tidak terdapat dialog, musik, bahkan suara sedikit. Awalnya aku kira itu hanya untuk menonjolkan kemampuan akting sang artis atau mungkin itu untuk kepentingan eksplorasi sebuah film. Ternyata aku salah.
Kamu tidak akan merasakan sebelum mengalaminya sendiri. Disini. Di suatu tempat di area bandara yang ramai. Betapa tidak ada suara sedikitpun yang tertangkap indra pendengaranku. Sepi. Sunyi. Bahkan aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri.

Aku sudah terlalu lelah berjalan. Tetapi Rio belum juga ku temukan. Aku bersandar di dinding. Memejamkan mataku, mencoba merasakan keberadaannya di sampingku. Mendadak aku menjadi sangat takut. Takut bila di saat terakhir aku tak dapat menemuinya, meminta maaf padanya.

"Coba telepon Rio aja Fy" saran Via.
Aku mengambil ponselku yang berada di meja. Mencari namanya dalam kontak. -CowokPesek-. Tekan tombol dial. Baru kali ini aku merasa berdebar saat meneleponya.
"Rio" panggilku saat sudah tersambung.
"..."
"Iya ini Ify. Rionya ada kak?"
"..."
"Bandara kak?" tanyaku lirih. Tanpa salam aku memutuskan sambungan.
"Vi, Rio di bandara. Gue harus kesana Vi. Gue ga mau terlambat" aduku.
"Fy. Tunggu Ifyyy"

Seperti bintang bintang..
Hilang ditelan malam..
Bagai harus melangkah tanpa ku tahu arah..
Lepaskan aku dari derita tak bertepi.. saat kau tak disini..

Pendengaranku mulai kembali bekerja dengan normal. Lamat-lamat terdengar Ajeng melantunkan lagu Saat Kau Tak Ada dari hanphone milik seorang.
Bibirku bersenandung mengikuti lagu itu.

Seperti dedaunan berjatuhan di taman..
Bagaikan debur ombak mampu pecahkan karang..
Lepaskan aku dari derita tak bertepi saat kau tak disini..

Tubuhku luruh seketika. Aku terduduk di lantai. Memeluk kedua lututku.

Saat kau tak ada..
Atau kau tak di sini..
Terpenjara sepi..

Ku nikmati sendiri..
Tak terhitung waktu..
Tuk melupakanku..
Aku tak pernah bisa..
Aku tak pernah bisa..


Tes.
Bulir bening menetes ke pangkuanku. "Rio loe di mana?"
Aku membiarkan air mata berjatuhan tanpa berniat menyengkanya. Rasa nyeri mulai menyergap. Mengenyahkan lelah yang terasa di kedua kakiku. Aku tak dapat membayangkan bagaimana rasanya menjadi Rio. Rio yang melalui Via menyatakan bahwa dia telah menungguku selama empat tahun. Rio yang dengan relanya mencintai gadis bodoh sepertiku, yang tak pernah menganggap dia ada.

Aku menunduk. Menyembunyikan wajah di kedua lututku menanggis sepuasnya.

Aku bodoh. Mengapa aku baru menyadarinya saat Rio sudah tak ada lagi disisiku. Menyadari aku merindukannya. Amat merindukannya.
Elgario Satria.
Aku bangkit, mengabaikan rasa nyeri yang menohokku dengan telak. Mau tidak mau mau, aku harus merelakan Rio menjauh dari hidupku. Menganggap semua ini sebuah balasan atas kebodohanku.
"Gue sayang loe, Rio" ucapku lirih, beranjak dari tempat itu.
Seseorang langsung memelukku dari belakang. "Gue sangat sayang loe Fy. Untukmu Aku bertahan" bisiknya di telinggaku.
Tanpa membalikan badan aku tahu itu suara... ELGARIO SATRIA.

* * * * *
hihi thanks yg ud mau baca :D


@Quttz_Yakut ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar