Jumat, 05 Desember 2014

Kakak dan Denting Piano

Hari masih pagi ditandai dengan belum banyaknya sinar mentari yang menerobos masuk dari kisi-kisi jendela.
Aku melirik jam beker yang terletak di samping kamar tidur yang tidak begitu besar.
Jarum jam masih menujuk pukul 05.36

Denting piano terdengar hingga ke kamarku.

“kakaaak ! berhenti main piano ! berisik tau !” teriakku di depan kamar.

Aku berjalan menghampiri seorang gadis yang duduk di depan piano dengan kursi rodanya.
Ya, dia adalah seseorang yang saat ini aku benci karena dia yang selama ini aku anggap sebagai penyebab kematian mama.


*****


“mama, ayo kita berangkat” ujar ka Naira sambil mengandeng tangan mama.
“kenapa ga sama Clarin aja sayang?” ujar mama sambil memandangku.
“ga ach, aku males nganter kaka menjeng ke salon. lama banget tau ma” ujarku sambil menjulurkan lidah pada ka Naira. :P
“tuch kan ma, Clarinta gtu” ka Naira pasang wajah cemberutnya.
“ya sudah, mama yang antar kamu”
“ma, jangan ma. mama jangan pergi” ujarku begitu saja tanpa aku sadari. Aku cuma ngerasa mama ga boleh pergi bareng ka Naira, tapi ucapan itu tanpa alasan bagiku.
“kenapa sih Cla? aku kan cuma minta antar mama ke salon, soalnya besok aku mau lomba piano”
“tapi ka . . .”
“tapi kenapa?”
“terserah kaka aja dech” aku berlari menuju kamarku. Entah kenapa aku pengen mama dan ka Naira jangan pergi. Tapi percuma aku ga punya alasan untuk mencegah mereka.

1 jam kemudian...

Musik waltz 4 mini mengalun di
Hp ku, bertanda ada panggilan masuk.
Aku memencet tombol dan akupun tersambung dengan orang di sebrang sana.
‘selamat siang’
‘ya, selamat siang’
‘anda dari keluarga ibu Neny Susanti?’
‘ya, saya anaknya. maaf bapak siapa ya?’
‘saya petugas RS. ******, Ibu anda dan juga seorang gadis yang bersamanya saat ini berada di RS.’
‘yang benar pa? saya segera ke sana. terimakasih’

Aku menutup telephone kemudian menghubungi papa tentang mama dan ka Naira. Papa akan segera ke RS dan menyuruhku ke RS dengan menggunakan taxi.
Di Rumah Sakit..

“pa, gimana mama sama ka Nay kenapa pa?”
“mama sama Naira kecelakaan sayang”
“trus keadaanya sekarang gimana pa?”
“ka Naira masih koma”
“trus mama?”
“mama kamu sudang di panggil Allah sayang” papa langsung memelukku erat.

Kakiku terasa kaku seketika, aku merasa duniaku menjadi sempit, kosong dan hampa.
Mama telah menghadap Yang Maha Kuasa, entah bagaimana aku harus menjalani hidup setelah ini.
Setelah mama tak ada.
Aku hanya terpaku, dan sesekali terisak dalam luka yang amat mendalam dalam dekapan papa.


*****


“koq bengong sayang?” ujar ka Naira sambil memegang pipiku.
“udah jangan pegang pipiku ! papa mana ?” aku menaikan nada suaraku sehingga terdengar membentak.
“tadi pagi papa berangkat keluar negri, emangnya kamu perlu apa?” sahut ka Naira lembut.
“ga perlu tau ! udah ya jangan main piano pagi-pagi, berisik tau !”
“loh emang kenapa? biasanya kamu sama mama yang suk request lagu”
“semua gara-gara kaka tau !” aku berlari menuju kamarku.


*****


“Clarinta, bantu kaka latian jalan yuk” ujar ka Naira sambil membuka pintu kamarku. Ka Naira mendekatkan kursi rodanya ke tempat tidurku.
“aku ga mau ka ! aku minta kaka keluar dari kamarku sekarang !” dan lagi-lagi aku membentak ka Naira.

Ka Naira mendorong kursi rodanya menjauhi tempat tidurku.
Aku sempat melihat ka Naira meneteskan air matanya.

Aku mengambil potret cantik mama di nakas samping tempat tidurku.
Di foto ini mama begitu cantik dengan senyum yang mengembang di sudut bibirnya.
Ma, apa aku begitu kasar sama ka Naira ??
aku sering membentak dan mengusirnya.
sebenernya aku kasian sama ka Naira ma, kakak udah jarang main piano kaya dulu.
setiap mengeliat wajah ka Naira aku pasti inget mama. Senyum ka Naira persis kaya mama. Itu yang buat aku benci ka Naira, ma.
Kenapa orang yang buat mama meninggal harus mewaris senyum mama ?!
Tanpa terasa klistal bening memeleh dari sudut mataku.
Aku benar-bener merindukan mama.


*****

Aku terbangun dari tidur, mataku terasa sembab dan sedikit bengkak.
Mungkin karena tangisanku tadi siang.

oaaah , duh udah sore koq mata masih ngantuk gini ya” aku bangkit dari tempat tidur, mengambil handuk dan menuju kamar mandi.
“non Clariiin” teriak bi Titi di depan pintu kamar mandi.
“kenapa teriak-teriak sih bi?” ujarku setelah keluar dari kamar mandi.
“non Clarin, non Naira ga ada di rumah non, non tau di mana non Naira sekarang?” tanya bi Titi dengan nada cemas.
“alaah bibi, palingan juga ka Nay di samping kolam renang bi”
“ga ada non. Bibi, bi wati sama mang Doni udah cari-cari di semua ruangan tapi, ga ke temu non”
“pa budi mana? udah tanya ke pa budi” aku menanyakan pa budi satpam rumah pada bi Titi.
“pa Budi juga lagi nyariin non”
“ya udah aku cari ka Nay dulu bi” aku bergegas menuju garasi.

Aku mengeluarkan mobil Honda Jazz milik ka Naira dari garasi.
Sebenarnya aku belum dibolehkan mengendarai mobil, tapi mau gimana lagi aku juga ga punya motor.
Mobil yang aku bawa melaju dengan kecepatan sedang, maklum aku belum begitu bisa mengendarai mobil.
Mobil yang aku bawa melaju menuju TPU, tempat pemakaman mama. Aku cuma mengikuti feelingku.
Aku memarkirkan mobil dan berjalan menuju makam mama.
Ternyata feelingku tepat. Terlihat dari jarak yang ga terlalu jauh, ka Naira duduk di kursi rodanya di samping makam mama. Bersama Pa BUdi, satpam rumahku.

Aku mendekati Pa BUdi, dia menyatakan padaku bahwa dia yang mengantar ka Naira sampai ke makam mama.
Pa Budi sengaja merahasiakannya karena perintah kaka.



Terdengar suara parau ka Naira karena air mata terus mengalir dari kedua matanya.


、、ma, aku bawa piala lomba piano kemarin.
aku persembahkan piala ini buat mama sama Clanrinta.
Karena mama sama Clarinta yang selalu memenin aku latian piano, tapi kayanya Clarinta ga peduli sama piala ini ma.
ma, aku sedih ma. Clarinta benci banget sama aku. Dia masih nyalahin aku, soal kematian mama.
Aku ga marah waktu dia mbentak aku, aku ga marah kalo dia marah-marahin kalau itu semua bisa ngilangin kebencian dia ke aku ma. tapi kayanya semua sia-sia dia tetep benci sama aku ma.
Kenapa harus mama yang meninggal ? bukan aku ?
Mungkin kalau aku yang meninggal, aku ga bakal dibenci Clarinta.
Aku sayang Clarinta ma, dia adeku yang manis dan lucu.
Perubahan sikapnya mungkin gara-gara aku ma.
Aku sayang mama 、、

Ka Naira mengusap air matanya.
Apa aku udah begitu jahat sama ka Naira ??
Aku berlari menuju ka Naira.

“Clarinta sayang kaka” ujarku langsung memeluk ka Naira yang masih duduk di kursi rodanya.
“maafin aku ya ka”
“maafin kaka juga ya”
“ka, kita pulang yuk. tapi kaka harus janji klo udah sampai rumah. Kaka harus mainin piano yang bagus buat aku ya”
“iya adeku sayang”
“ma, kita pulang dulu ya” ujarku sambil menatap nisan mama.


Setelah hari ini tuts-tuts piano akan selalu berdenting..



THE END *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar